Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an, Hubungan Pusat-Daerah, Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis, Pergolakan Sosial Politik.
Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.
Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya.
Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.
Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat.
Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah.
Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia- Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955.
Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat.
Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia.
Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi.
Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.
Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan.
Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta.
Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya.
Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat.
Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas.
Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia.
Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil.
Baca Juga : Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya
Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional.Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955.Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya.
Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
- Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
- Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
- Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
- Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa silih berganti.Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951.Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA).Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya.Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat.
Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah.
d. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri.Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia- Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955.
Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah.Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat.
Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia.
Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi.
Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.
a. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan.
b. Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis.Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
- Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
- Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
- Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
- Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
- Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda.Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta.
Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
- Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
- Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
- Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
- Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya.
Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat.
Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas.
Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia.
Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil.
Baca Juga : Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya